Popular Post

Posted by : Unknown Jumat, 01 April 2016


A.    Sejarah Lahirnya Pembahasan Tingkah Laku Prososial
Tingkah laku Prososial (Prosocial behavior) adalah segala tindakan menolong yang menguntungkan orang lain, tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukannya ,dan mungkin membahayakan dirinya sendiri. Misalnya: Santi lari ke dalam rumah yang sedang terbakar demi menyelamatkan seorang anak kecil yang terperangkap di dalamnya. Dalam hal ini, perilaku Santi disebut dengan perilaku Prososial. Lain ceritanya bila yang masuk ke rumah tersebut adalah ibu dari anak yang terperangkap itu, karena ibunya sama-sama diuntungkan karena tidak kehilangan anaknya. Sementara itu Altruisme (Altruism) adalah melakukan tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain.

Dalam studi tingkah laku prososial, dikenal konsep bystander yang didalamnya ada efek bystander—fakta menunjukkan bahwa kecenderungan untuk berespons prososial pada keadaan darurat dipengaruhi oleh jumlah bystander yang ada. Sejalan dengan meningkatnya jumlah bystander, probabilitas bahwa seorang bystander akan menolong menurun dan lamanya waktu sebelum pertolongan diberikan meningkat. Contoh: di tengah kerumunan orang banyak di pasar, seorang ibu terjatuh dan barang belanjaannya tercecer kemana-mana. Dalam kondisi banyak orang seperti itu, besar kemungkinan tidak ada yang menolong ibu tersebut karena terjadi penyebaran tanggung jawab—suatu pendapat bahwa jumlah tanggung jawab yang diasumsikan oleh bystander pada suatu keadaan darurat dibagi di antara mereka. Jika hanya ada 1 orang bystander, dia menanggung keseluruhan tanggung jawab. Jika hanya ada 2 orang bystander, masing-masing menanggung 50% dari tanggung jawab. Jika ada 100 orang bystander, masing-masing menanggung 1% tanggung jawab. Makin banyak bystander, mereka makin merasa kurang bertanggung jawab untuk bertindak.

B.     Pengambilan Keputusan untuk Menolong pada Keadaan Darurat
Terdapat 5 langkah yang dapat menentukan untuk melakukan tindakan prososial atau tindakan berdiam diri saja :
1.      Menyadari adanya keadaan darurat. 
Menurut definisinya, keadaan darurat tidak terjadi secara terencana, maka tidak ada cara untuk mengantisipasi kapan atau di mana masalah itu terjadi. Sehingga ketika kita sedang sibuk dengan urusan kita lalu kita dihadapkan pada situasi darurat perlu adanya respon. Ketika seseorang dihadapkan pada keadaan darurat ada dua kemungkinan, pertama dia menyadari situasi darurat tersebut dan kedua dia tidak menyadari situasi tersebut karena sedang asyik dengan urusannya sendiri.
Contoh: Di jalan tol Susi mendengar teriakan minta tolong, dan ternyata ada kecelakaan di jalan tol,  lalu dia juga mendengar anak kecil yang menangis. Namun, seseorang yang terlalu sibuk untuk memperhatikan lingkungan sekitarnya gagal untuk menyadari situasi darurat yang nyata-nyata terjadi. Pertolongan tidak diberikan karena tidak adanya kesadaran bahwa keadaan darurat itu terjadi. Contoh: bisa saja saat itu Susi terlalu asyik dengan mp4 nya sehingga tidak memperhatikan tanda-tanda akan adanya keadaan darurat.
2.      Menginterpretasikan keadaan sebagai keadaan darurat. 
Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicara yang tak dapat menggunakan simbol-simbol yang sama, baik secara simultan (dikenal sebagai interpretasi simultan) atau berurutan (dikenal sebagai interpretasi berurutan). Menurut definisi, interpretasi hanya digunakan sebagai suatu metode jika dibutuhkan. Jika suatu objek (karya seni, ujaran, dll) cukup jelas maknanya, objek tersebut tidak akan mengundang suatu interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk pada proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasilnya.
Dengan demikian meskipun kita memperhatikan apa yang terjadi di sekitar kita, kita tidak memiliki informasi yang lengkap mengenai apa yang kira-kira sedang dilakukan oleh seseorang, biasanya hal itu tidak penting bagi kita lagi pula itu bukan urusan kita. Contoh: setelah menyadari adanya keadaan darurat di jalan tol tadi, Susi kemudian menilai apakah kejadian tersebut darurat? Seberapa daruratnya kah?, dst. Ketika orang yang potensial menolong tidak yakin sepenuhnya apa yang terjadi, mereka cenderung untuk menahan diri dan menunggu informasi lebih lanjut. Kecenderungan yang berada dalam sekelompok orang asing untuk menahan diri dan tidak berbuat apa pun disebut sebagai pengabaian majemuk (pluralistic ignorance). Yaitu, karena bystander tidak tahu dengan jelas apa yang sedang terjadi, masing-masing bergantung pada yang lain untuk memberi petunjuk.
3.      Mengasumsikan bahwa dirinya bertanggung jawab untuk menolong. 
Ketika terjadi situasi darurat jika seseorang mampu menyadari dan menginterpretasikannya maka tingkah laku prososial akan dilakukannya hanya jika seseorang tersebut mengambil tangungjawab untuk menolongnya. Pada dasarnya tangungjawab itu bersifat jelas posisinya. Contoh: setelah Susi menginterpretasikan bahwa kejadian itu adalah bahaya—yaitu terjadi kecelakaan di jalan tol dia kemudian akan berpikir: apakah saya harus menolongnya? Berapa banyak orang yang bisa datang membantu? Apakah saya harus ikut membantu?. Salah satu alasan bahwa bystander yang seorang diri lebih mungkin untuk bertindak prososial adalah karena tidak ada orang lain yang dapat bertanggung jawab.
4.      Mengetahui apa yang harus dilakukan. 
Terdapat dua kemungkinan jika seseorang mengalami situasi darurat, kemungkinan pertama seseorang tersebut mengatahui bagaimana cara menolongnya dan kemungkinan kedua tidak mengatahui atau memiliki keterampilan bagaimana cara menolongnya. Sejumlah keadaan darurat cukup sederhana sehingga hampir semua orang mempunyai keterampilan yang dibutuhkan untuk menolong, sedangkan dalam situasi darurat tertentu dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menolong.  Contoh: setelah mengasumsikan bahwa dirinya harus menolong, Susi berpikir tindakan apa yang harus dilakukan? Pertama dia akan menelpon nomor darurat 911 dan ambulance lalu dia akan mencari korban yang mungkin tertindih di sela-sela mobil. Beberapa keadaan darurat membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh ebanyakan bystander, seperti menolong korban tenggelam.
5.      Mengambil keputusan untuk menolong. 
Jika seseorang dihadapkan dalam situasi darurat dan ia telah mengetahui apa yang harus dilakukan kemudian dilakukanlah tindakan eksekusi pengambilan keputusan, namun kebanyakn orang cenderung banyak pertimbanagan seperti ketakutan akan resiko yang akan ditanggung olehnya. Contoh: Susi akhirnya memutuskan untuk menolong korban kecelakaan tersebut. Ini adalah tahap yang paling menentukan: apakah bystander akhirnya memutuskan untuk menolong korban tersebut atau hanya berdiam diri?
C.    Faktor Sistuasional yang Mendukung atau Menghambat Tingkah Laku Menolong
1.      Daya tarik fisik. Apa pun factor yang dapat meningkatkan ketertarikan bystander pada korban akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respons prososial apabila individu tersebut membutuhkan pertolongan atau orang menolong orang lain karena orang tersebut punya kemiripan dengan kita.
2.      Atribusi pada korban. Contoh: ketika Santi melihat ada orang terjatuh, dan setelah melihat ternyata orang tersebut membawa botol minuman keras, Santi akan menilai bahwa orang tersebut terjatuh karena kesalahannya sendiri sehingga tidak perlu ditolong.
3.      Pengalaman pada kejadian prososial. Contoh: Susi pernah membantu seorang ibu-ibu yang terjatuh di pasa. Ternyata ib tersebut adalah seorang pencopet dan langsung saja setelah ditolong ia merampas dompet Susi dan melarikan diri. Kejadian ini dapat mempengaruhi Susi untuk melakukan tindakan prososial di masa mendatang.
4.      Kondisi emosional bystander. Kondisi suasana hati yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya tingkah laku menolong orang lain, sedangkan kondisi suasana hati yang tidak baik akan menghambat pertolongan. Namun, Jika tingkah laku prososial dapat merusak suasana baik hati seseorang, suasana hati yang baik menyebabkan berkurangnya perilaku menolong. Sebaliknya juga bila perilaku prososial dapat memberikan pengaruh positif pada emosi yang negatif, maka  suasana hati yang buruk dapat menyebabkan meningkatnya perilaku menolong. Rasa kesedihan dan kehilangan juga dapat meningkatkan perilaku prososial karena dapat menjadi kompensasi atas rasa kehilangannya.
5.      Empati—respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distress emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
6.      Factor disposisional (gen, wanita). Wanita cenderung lebih mau menolong daripada pria.
7.      Kejadian khusus.
Ada 3 motif utama ketika seseorang dihadapkan pada sebuah dilemma moral:           
1)       Self interest—motivasi untuk terlibat dalam tingkah laku apa pun yang menyediakan kepuasan terbesar. Kadang-kadang sisebut juga dengan egoism—pertimbangan eksklusif terhadap kebutuhan serta kesejahteraan pribadi dan bukan terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain. Contoh: Susi memberikan sumbangan ke sebuah panti asuhan dengan catatan namanya harus tercantum.
2)       Integritas noral (moral integrity)—motivasi untu bermoral dan benar-benar terlibat dalam tingkah laku moral.
3)       Hipokrasi moral (moral hypocrisy)—motivasi untuk terlihat bermoral selagi melakukan apa yang terbaik untuk menghindari kerugian yang dilibatkan dalam tindakan bermoral yang sebenarnya.
D.    Respon Prososial terhadap Sebuah Kejahatan yang Sedang Berlangsung
1)      Hipotesis empati-altruisme (emphaty-altruism hypothesis): sebuah dugaan bahwa tingkah laku prososial hanya dimotivasi oleh keinginan untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan.
2)      Hipotesis mengurangi keadaan negatif (negative-state relief hypothesis): penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimotivasi oleh keinginan bystander untuk mengurangi emosional negatifnya sendiri. Orang-orang kadang menolong karena mereka berada pada suasana hati yang jelek dan ingin membuat diri sendiri meresa lebih baik.
3)      Hipotesis kesenangan empatik (emphatic joy hypothesis): penjelasan yang menyatakan bahwa perilaku prososial dimotivasi oleh emosi positif yang diantisipasi penolong untuk dimiliki sebagai hasil dari memiliki pengaruh menguntungkan pada hidup seseorang yang membutuhkan. Penolong berespons pada kebutuhan korban karena dia ingin merasa enak karena berhasil mencapai sesuatu.
4)      Hipotesis determinisme genetis (genetic determinism hypothesis): penjelasan yang menyatakan bahwa tingkah laku didorong oleh atribut genetis yang berevolusi karena atribut tersebut meningkatkan kemungkinan untuk mewariskan gen seeorang pada generasi berikutnya.
E.     Menjadi Bystander yang Responsif
1.      Perhatikanlah apa yang sedang terjadi di sekliling anda.
2.      Jika anda melihat sesuatu yang tidak biasa, pertimbangkan berbagai alternatif
3.      Ingatlah bahwa anda sama bertangungjawabnya dengan orang lain untuk menolong seseorang yang membutuhkan.
4.      Bersedialah mengambil kesempatan untuk berbuat sesuatu.


DAFTAR PUSTAKA
Annisa Avianti.(31 Juli 2010). Tingkah Laku Prososial: Kenapa Orang-Orang Menolong?. Tersedia : https://annisaavianti.wordpress.com/2010/07/31/tingkah-laku-prososial-kenapa-orang-orang-menolong/. [Diakses : 17 – Februari- 2016].
Baron, Robert A.  & Dann Byrne. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2 Edisi Kesepuluh : Jakarta. Erlangga.

Id.wikipedia. Interpretasi. Tersedia : https://id.wikipedia.org/wiki/Interpretasi . [Diakses : 17 – Februari- 2016].

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Yan_Mu_Ra - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -